Bismillahirrahmanirrahim; Meraba Rute Latimojong - Masa lalu hanya bisa dikenang, kebersamaan dengan teman-teman jadi kerinduaan tersendiri di hati. Tahun 1997 hingga tahun 2002 adalah tahun mencekam sekaligus tahun yang begitu menyenangkan bersama mereka. Waktu terus berputar hingga tak terasa lebih dari satu dekade berlalu. Tingkah laku serta perbuatan pada saat itu berada di pusaran Jahiliyah. Astagfirullaah Yaa..Rabb..! Akibatnya, setelah keluar daripadanya dan mulai menyadari kekhilafan, dampaknyapun mau tidak mau mesti dihadapi. Beberapa teman hanya dikaruniai umur tidak lebih dari 30-an tahun.
Hari Pertama :
Bermodalkan peralatan serta informasi seadanya, perjalanan inipun dimulai kendati saat itu terdengar rumor orang hilang di wilayah pendakian. Formasi berjumlah 12 orang. Ngarai menganga di ujung kontur...urai sejuk menyentuh kalbu..walau punggungmu tergores abrasi..kokoh tertanam memijak bumi.. Wahai dikau pasak bumi.. jangan hentakkan tanah pijakanmu... Mohonkan kami pada Tuhanmu... Menanti hidayah datang menjemput... Susuri anak sungai kering tertutup dahan...Tengadahkan wajah puji kebesaranNya. Setelah beberapa jam, tibalah kami di Rantepao Toraja. Dengan penuh percaya diri, langkahkan kaki susuri trotoar tak peduli lirikan ratusan mata yang penuh tanda tanya. Hingga akhirnya siang merangkak perlahan menuju peraduannya. Makale, Toraja, kediaman saudara salah satu teman pukul + 21.00 wita 20-24°c.
Hari kedua :
Tak terasa sang surya tepat berada di atas ubu-ubun, sampailah kami di perbatasan toraja. Toraja selain terkenal dengan penguburan mayatnya juga tangan-tangan terampil masyarakat kabupaten tersebut tak perlu diragukan, contohnya saja ornamen-ornamen yang menghiasi gerbang perbatasan; begitu artistik. Menurut pengakuan pembuat patung yang pernah ditemui, bahwa ini (patung) diupayakan menyerupai dengan bentuk aslinya. Jadi Anda-Anda jangan heran kalau berkunjung ke Toraja dan menjumpainya.
Masjid Salubarani Enrekang begitu masyarakat lokal menamai, jadi titik loncatan selanjutnya hingga berakhir di Sudu, sebuah pasar mingguan. Tebing menjulang bak raksasa seakan menghadang perjalanan kami, lambaian bendera climber-climber Indonesia ramaikan punggung tebing.
Bahkan ada yang terlihat di ujung tertinggi. Namun ada ada satu goresan horisontal memanjang menganga sepanjang tebing yang menarik perhatian, burung-burung menyembul keluar daripadanya, saling kejar mengejar ditambah beberapa ekor burung elang yang mengintai mangsanya dari angkasa, memutar menyilang kesana kemari.
Dan tak kalah menarik perhatian, ada seekor burung bentuknya seperti garuda dipewayangan, bercorak hitam dipadukan merah, mempunyai mahkota di kepala. Rupanya yang dilihat dari kejauhan itu merupakan tempat penguburan nenek moyang kita pada jaman dahulu kala.
Kumandang adzan ashar menyambut kedatangan kami. Seperti informasi dari seseorang yang ditemui di jalan tadi, bahwa jalur menuju pendakian ada dua. Jika memilih jalur normal, nantinya akan melewati 10 desa, salah satunya desa yang saat ini dilalui. Semakin jauh melangkah pandangan semakin buram, kabut mulai menjejakkan kakinya ke bumi. Sejak beranjak dari Sudu tadi tubuh belum merasakan istirahat. Canda teman-teman yang sepanjang perjalanan sudah tak terdengar lagi. Tubuh betul-betul berada di titik optimalnya.
Hari ke tiga :
warga desa landa (semoga Allah senantiasa melimpahkan rejekiNya. Amin). Masih seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu bangun bukannya ambil air wudhu, malah saling mengejek satu sama lain. Ternyata ada yang jail semalam, muka pada hitam semua.Memang tak dapat dipungkiri, tidak seperti kebanyakan pendaki-pendaki lain, style ditim kami layaknya keluarga yang lagi bertamasya.
Tak terasa hembusan angin lembah, cemilan murbei, suasana lereng gunung menambah semangat pagi itu. Desa demi desa dilalui. Sementara jarak antara teman yang satu dengan lain terus menjauh hingga moment pasar sudu kembali terulang, kali ini seorang perawat desa.
Pukul 5 sore hari 'Oi', Desa karangan. Beberapa meter lagi kaki gunung. Terlebih dahulu kami laporan ke pemerintah wilayah setempat jumlah tim berikut dokumen perjalanan. Setelah selesai berembut, "Bismillaaah". Ya..Rab..!, kami hanyalah anai-anai, coba tapaki sebahagian kecil kekuasanMu..bukan congkak yang kami bawa, bukan ego yang kami rangkul..Mohon ringankan langkah kami..AllahummaSalliAlaaMuhammad..". Pos 2 menjadi target selanjutnya (penyesuaian tubuh dengan alam, aklimitasi). di kemiringan 35°. Menurut informasi, jarak tempuh dari pos daki ke pos 2 berkisar 1 jam perjalanan. Namun kenyataanya, dekat di mata berat di kaki. Kemiringan mendekati 80°, persediaan air sudah habis. Peluh tak henti-hentinya membasahi, aromanyapun menyumbat kerongkongan.
Kami begitu kehausan, ingin bivack namun wilayah tak mendukung. Ada yang memeras lumut, rotan, mengumpul embun di dedaunan dan yang masih segar diingatan, yakni ada cadangan air yang saya siapkan jauh hari sebelum pemberangkatan. Tapi sayang, hanya segelas saja sedangkan jumlah kami banyak. Semua mata serius tertuju ke air tersebut jangan sampai ada yang meminum hingga dua teguk.
Gemuruh air terdengar dikejauhan, nyanyian binatang hutan sesekali terdengar, suara pijakan mengisi keheningan.."Welcome to the jungle" GnR. Pos 2 pukul + 19.00 wita, teman terakhir tlah bergabung. Gerimis melengkapi keindahan malam. Sebagai pelepas lelah kami hibur diri dengan bernyanyi dan bermain gaple, yang kalah harus rela lepasin baju dan mukanya dicoret dengan arang. Ada juga yang ributin sebungkus mie instant. Dan yang kentut (maap) dalam tenda dihukum dengan ngeronda pertama. Sedang tetangga sedari tadi terlelap (Mapala).
Hari ke empat :
Beberapa saat kemudian hening datang menghampiri, kami tak dapat melanjutkan pendakian, logistik tak mencukupi tuk beberapa hari kedepan. Packing N go home.
Postingan ini didedikasikan buat beberapa Rekan kami yang telah berpulang keRahmatullah, dua di antaranya ikut dalam Meraba Rute Latimojong ini (lingkaran merah pada gambar). Pegunungan Latimojong, 2001, 3.478 mdpl