6 Apr 2014

Misteri Penghuni-Penghuni Lembah Pinus

Cerpen: Misteri Penghuni-Penghuni Lembah Pinus

Cerpen: Misteri Penghuni-Penghuni Lembah PinusHujan baru saja menyirami bumi, lampu-lampu kendaraan dinyalakan walaupun malam masih jauh dari peraduannya. Memang di sepanjang jalur yang dilalui ini sering turun kabut batas pandangan sekian meter saja sementara lebar badan jalan hanya berkisar satu rentangan tangan orang dewasa, ditambah lagi jalan berliku dan berada pada daerah pegunungan. Bila kita amati secara seksama nampak mulut jurang menganga tersamar oleh ilalang. [Foto/Google Search]

Tak terasa matahari mulai memaksa membias di selah dedaunan juga gumpalan-gumpalan awan hitam tak mau kalah sedikit demi sedikit mengurai diri dari kawanannya. Kaki terhenti melangkah saat memasuki kawasan pepohonan pinus. Semua mata tertuju pada sebuah bus antar kota yang terjerambab ke dasar jurang. Bau amis darah masih segar tercium, mungkin bus inilah yang dimaksud koran kota empat hari yang lalu.

Sore itu kami segera bagi-bagi tugas. Ada yang mencari lokasi bivack dan adapula yang memisahkan logistik keperluan pendakian saja. Padahal rencana awal seharusnya saat ini kami sudah berada di pos daki. Berhubung teman-teman bersolek dulu sebelum berangkat..Yaa..begini jadinya. Tapi, ada untungnya juga kami di lembah pinus ini, sekalian menyesuaikan tubuh dengan alam sekitar guna membantu proses aklimitasi.

Tidak seperti kebanyakan pendaki-pendaki pada umumnya, style tim kami layaknya keluarga yang lagi bertamasya. Bagaimanapun, kapanpun dan dimanapun berada, ada saja perilaku yang jadi bahan tertawaan. Misalnya teman dalam ekspedisi ini (ceiye), memakai kupluk bebi berwarna biru langit dengan bulatan-bulatan kecil lembut menjuntai di pipi ples dot bebi tergantung di leher..Anehkan..?

Gemuruh air terdengar di kejauhan.. sayup-sayup nyanyian binatang malam sesekali terdengar.. suara pijakan mengisi keheningan.."Welcome to the jungle" GnR. Lembah Pinus pukul 19.11 menit, teman terakhir tlah kembali bergabung. Gerimis melengkapi keindahan malam. Sebagai pelepas lelah kami hibur diri dengan bernyanyi dan bermain gaple, yang kalah harus rela lepasin baju dan mukanya dicoret dengan arang, ada juga yang ributin sebungkus mie instant..Yang kentut (maap) dalam tenda dihukum dengan ngeronda pertama.

Malampun merambat perlahan disertai hawa dingin yang menusuk tulang. Semerbak aroma belantara rimba menyebar menyatu bersama sunyi. Beberapa teman sedari tadi terlelap, kaleng susu yang diisi minyak dan arang jadi penerang sekaligus sebagai penghangat badan. Ditemani iringan gitar Nugie "Pelukis Malam" mengalung melalui mini tape yang ada di depan, menambah suasana malam begitu syahdu membuai hati. Pukul 01.47 menit suhu hampir mendekati 19°C, mata tidak memungkinkan lagi diajak kompromi, Saatnya untuk istirahat.

"Astagfirullaah..AllahuLaailaaha..illahuwalhayyullkayyuum...laa.ta'Udzu..sinatumWa.".

Belum lagi kaki melangkah sampai di pintu tenda, tiba-tiba angin berhembus kencang, ranting-ranting berjatuhan. Yang mengherankan mengapa hanya di kawasan tenda kami saja. Kupluk iyya' turunkan hingga menutupi leher belakang. Suara keras igauan salah satu teman bangunkan seisi tenda, mulutnya komat kamit tak karuan menyebut berulang-ulang beberapa deretan angka dan dengan mata yang masih tertutup ia menunjuk keluar. Bertelanjang kaki, memakai tongkat, pakaian agak longgar serba kehitaman, rambut acak menyentuh punggung sebagiannya lagi menutupi wajah.

"Neek..!, Nenek mau kemanaa..!", sapaan salah satu teman tidak dihiraukan, padahal jarak kami sangat dekat.

"Jangan dikejar..!". sambil memegang erat tangan salah satu teman.

"Ahh...cuma mau nanya saja..!" Balasnya dengan nada ketus.,

"iyaa..tak usah dikejar..kita kan sudah sering jumpai hal-hal aneh seperti ini...biar dia cari dunianya sendiri.!." sambung salah satu teman untuk menenangkan. .

"Anehnya dimana ya..!" sambil masukkan jari telunjuk ke hidung.

Padahal jika diperhatikan kakinya masih menginjak tanah, jalannyapun biasa-biasa saja, tidak beda jauh dengan kebanyakan nenek-nenek pada umumnya. Ataukah penduduk sekitar lembah ini yang sedang berkebun yang tidak kami ketahui sebelumnya. Berbagai macam pertanyaan timbul di benak.

Belum lagi habis rasa penasaran, tak beberapa lama berselang setelah Nenek itu melintas, terlihat keranda mayat melayang diusung oleh empat orang mengenakan pakaian bertudung putih hampir bersamaan dengan munculnya sepasang kelinci putih yang berlarian keluar dari belakang tenda. "Allaahuu Akbaar.!"

Keesokan harinya cuaca begitu cerah, pemandangan yang tadinya tertutup kabut dan awan kini nampak jelas terlihat. Gumpalan awan berkumpul di lembah membentuk hamparan permadani berwarna putih. Tebing menjulang bak raksasa seakan menghadang kami, lambaian bendera climber-climber Indonesia ramaikan kontur tebing, bahkan ada yang terlihat diujung tertinggi. Ada satu goresan horisontal memanjang menganga sepanjang tebing, burung-burung menyembul keluar saling kejar mengejar ditambah beberapa ekor Elang Rimba mengintai mangsanya dari angkasa. Memutar menyilang kesana kemari.. Subhaanallaah...! burung itu lagi, bentuknya seperti garuda dipewayangan, bercorak hitam dipadukan merah, mempunyai mahkota di kepala. Ini kali kedua iyya' melihatnya

Pukul 14.03 menit. Kemiringan mencapai 50 derajat, 6 jam sudah kami dijalan. Dari perhitungan ketinggian 3.455 mdpl dan jarak tempuh 500 meter perjam, berarti sekitar 2 jam lagi kami tiba di puncak. Peluh tak henti-hentinya membasahi, aromanyapun menyumbat kerongkongan. Napas serasa sesak seperti terkena asma. Ternyata benar adanya, semakin kita naik ke atas, maka tekanan oksigen juga semakin berkurang. Semoga saja tak ada yang terkena kram perut. Dan akhirnya tibalah kami di Puncak tertinggi Sulawesi.

Ngarai menganga di ujung kontur...Urai sejuk menyentuh kalbu..Walau punggungmu tergores abrasi..Kokoh tertanam memijak bumi...

Cukup lama juga kami nikmati pemandangan sekitar. Pikiran jadi jernih, hatipun jadi tenang.

Dentuman halilintar saling sambung menyambung menyambut kedatangan kami malam itu di lembah pinus. salah satu teman bergegas memeriksa sisa perbekalan yang kami tinggalkan. Sedang iyya' dan dua rekan lainnya ke pancoran mengambil air untuk dipakai masak.

"ya', ya',.. coba liat ya'..! ujung tikungan sana..." ucap salah satu teman setengah berbisik di telinga. Teman satunya lagi menoleh ke arah yang dimaksudkan. Cahaya kilat sesekali memperjelas apa yang ditunjukkan.

"Di sana..ya'!". ucapnya lagi sambil memegang pundak. "eit.. ada mobil datang..".

"Awaas.. Nee..k..!" Serentak saja kami teriak sekuat tenaga, Lampu mobil timbul tenggelam ke permukaan. Sedang Si Nenek sendiri tergilas jauh ke belakang.

"Senter, senter, cepaat..!" "lentera saja.." "cepaat..!" salah satu teman menarik lengan baju iyya'. Kami begitu panik, nesting beserta gelas-gelas berhamburan ke tanah.

Setelah sampai di tempat kejadian..

"Si..si..Ne.. Nenek kemana..?".

"coba cari sebelah sana". Lentera iyya' arahkan ke segala arah.

"tidak ada..!"

"Mobil yang tadi..? teman yang satunya lagi balik bertanya.

"Wooii..! kenapa lama sekaalii.. sudah lapaarr, ayo pulaang..!". Teriak salah satu teman dari kejauhan dimana tempat kami tadi mengambil air.

Sejenak Kami saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Beberapa hari kemudian sesampainya di rumah. iyya' dan teman-teman kembali berkumpul sekaligus melihat hasil foto-foto kami selama pendakian. Ada-ada saja tingkah teman-teman. Kok ada foto cuma ada kaki saja.. miring lagi.

"Yang pegang kamera di foto ini siapa..?!". Salah satu teman angkat bicara.

"kenapa..!" balas teman yang bodinya mirip Arnold Swasanazegarr.

Ada seorang anak kecil berumur kurang lebih 8 tahunan berdiri di tengah, mengikuti rombongan kami yang sedang berjalan. Sedikit gemuk, wajahnya memar-memar seperti baru saja terbentur benda keras, ada banyak bercak darah di jaket birunya. Mengingatkan kembali keganjilan yang iyya’ alami sendiri sebelum penampakan-penampakan malam itu muncul. Dan nomor polisi ini...!!!. (Mymemory, 2000)