15 Nov 2014

Sepenggal Kisah Sang Peminang Bidadari

Sepenggal Kisah Sang peminang bidadari

Sepenggal Kisah Sang "Peminang Bidadari" - Namanya al-DinoSya, bocah laki-laki berambut ikal berkulit hitam bermata sipit. Terlahir dari keluarga sederhana berusia 14 tahunan, berperawakan ceking kurus seperti cacing kedinginan dan punya banyak bekas cakaran di wajah. Maklumlah, Si kecil al-DinoSya kala itu suka berkelahi. Keseharian yang dilalui pun tak seperti kebanyakan anak-anak seusianya. Semenjak kematian Ayahanda tercinta, ia lebih banyak menghabiskan waktu berkeliling kampung untuk berjualan nasi. Menggantikan Ibunda yang mulai sakit-sakitan.(Foto/Google search).
Cahaya pagi menyibak gelap, hantarkan malam menyambut mentari. Namun hari itu tak seperti hari-hari sebelumnya. Kepulan asap dari sisa pembakaran terlihat di mana-mana, aroma anyir darah menyebar mengikat kerongkongan; serta suara rintihan erangan kesakitan terdengar di kejauhan. Sungguh pemandangan yang begitu asing di mata aL. Walau demikian, hal itu tak menyurutkan semangat bersama saudara-saudara sekeyakinannya.
Kaki kecil aL gontai melangkah lewati pintu rumah yang terbuat dari rumbia. Segelas air putih dan nasi tanpa lauk yang tiap hari dihidangkan oleh Ibunda tercinta, selalu tersedia di meja makan kendati aL jarang pulang ke rumah. Kalaupun ke rumah, itupun hanya untuk melihat ibu tercinta dan hanya untuk ganti baju saja. Lokasi rumah aL juga terbilang cukup dekat dari tempat pengungsian penduduk.
Belum lagi aL akan mencicipi hidangan nasi dan segelas air putih di meja, tiba-tiba riuh lengkingan Takbir dan suara rentetan peluru menyalak disertai bunyi tiang listik menggema di telinga aL. Ibu aL yang sedari tadi memperhatikan gelagat anaknya, hanya berdo'a semoga Dzat pemilik semesta berkenan melindungi Sang buah hati.
Parang Sawalaku disilangkan di punggung sementara senapan rakitan berada di tangan kiri. Saat itu juga, aL bergegas keluar sambil membawa jirigen berisikan bensin di tangan kanan. Tetapi sesampainya ia di halaman rumah, aL dikejutkan oleh panggilan Ibunya. Lalu ia pun membalikkan badan, menghampiri dan memeluk Sang Ibu kemudian meneguk segelas air putih yang belum sempat ia habiskan yang berada di tangan Ibu aL.

Menyusuri puing-puing reruntuhan, aL bagai singa padang pasir meloncat dan berlari zig-zag menghindari bahaya. Ikat kepala dari kain kafan berwarna putih bertuliskan Allahu Akbar terikat erat menutupi kepala. Parang Sawalaku sesekali di seret di aspal menandakan ia telah siap menghadang musuh. Tak mau kalah dengan orang dewasa lainnya, senapan rakitan disandarkan di balok bangunan bekas rumah terbakar lalu ditembakkan.
Namun Tuhan berkehendak lain, berselang beberapa menit kemudian tubuh kecil aL terhuyung ke belakang lalu terhempas ke tanah. sebutir peluru yang ditembakkan oleh sniper musuh merobohkan dan menembus tubuh kecilnya.
Tapi ada yang aneh pada luka aL, Semua mata tercengang melihat baju yang dikenakan, bukannya basah karena darah, tapi basah karena banyaknya air yang keluar dari lubang bekas peluru yang bersarang.

Di sana tempat lahir beta.. Dibuai dibesarkan bunda..

Tempat berlindung di hari tua.. Tempat akhir menutup mata..

Yaa Raab..!, Beri kuatlah beta.. Mohon jangan lemahkan beta dikala orang-orang pada lemah.. Agar beta dapat membantu mereka di tengah ketertindasan..

Yaa Raab..!, Beri sehatlah beta.. Mohon jangan beri beta sakit.. Agar beta dapat membantu mereka di tengah keterpurukan.. meski beribu tusukan pedang mengonyak tubuh..

Jangan jadikan Agama, Suku dan Ras menghalangi kita untuk menjalin kebersamaan antar anak negeri. Ke-Bhinneka-an Tunggal Ika di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.