17 Jun 2014

Meraba Rute Goa Batu Putih

Gunung: Meraba Rute Goa Batu Putih - Seperti halnya perjalanan ke Latimojong, rute ke Goa Batu Putih ini sama sekali belum pernah saya dan dua rekan saya datangi, hanya bermodalkan kemauan yang kuat dan keikhlasan di hati kami tanamkan, bahwa perjalanan ini sepenuhnya hanya ingin melihat sebagian kecil kebesaran Sang Khalik. Bukan ketajaman pedang yang mematahkan kayu, namun kemauan yang kuat serta tawadhu di hati Semoga Penguasa Hati berkenan.

Gapura perkebunan kelapa sawit, demikian petunjuk dari salah seorang teman yang rumahnya kami singgahi sebelumnya tuk melepas lelah selama dalam perjalanan menuju Goa Batu Putih. "Bismillah" Gerbang perkebunan; udara sejuk menerpa, rimbun pepohonan kelapa sawit juga setapak yang ditumbuhi rerumputan hijau jadi keindahan tersendiri buat kami. Ditambah nyanyian burung hutan semarakkan pagi itu. Semakin jauh ke dalam, aroma belantara rimba semakin terasa, hingga seekor ayam hutan berlari melewati.

Berselang beberapa menit kemudian, suara bising kendaraan angkutan pedesaan memecahkan keheningan. Kesempatan ini Kami gunakan untuk bertanya. Setelah menggali sedikit informasi, perjalananpun dilanjutkan kami tidak terlalu menghiraukan kapan akan tiba ke goa, karena menurut informasi yang kami dengar tadi, bahwa jarak tempuh dari tempat kami berdiri sampai ke goa tinggal beberapa kilometer saja. Tak hentinya-hentinya kami terus bercanda sambil berkhayal, jikalau nantinya di dalam goa.

Gunung: Meraba Rute Goa Batu Putih

Tak terasa lelahpun menghampiri, kami putuskan tuk beristirahat sejenak. Rimbunan pepohonan membuat kami terlena dan menyadari sudah beberapa jam berjalan, namun tanda-tanda yang diinformasikan oleh penduduk tadi tidak kami temui. Malah jalur setapak semakin bertambah, harus pilih yang mana?. Apakah harus lewat kiri atau lewat kanan saja, ataukah jalur setapak yang sekarang ini kami bearada di atasnya. Kalaupun jika melalui setapak ini, di depan masih ada jalur bercabang lagi. (Di sini saya memetik hikmah tentang belantara hidup; tentang pencarian Ar-Rahman Ar-Rahimnya Sang Penguasa Semesta). Begini jadinya kalau kita hanya mengandalkan informasi saja. selanjutnya kami putuskan untuk mengikuti arah terbenamnya matahari.

pepohonan sawit sedari tadi sudah tak terlihat yang ada hanya bekas-bekas lahan yang telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Sepertinya kita tersesat, jadi teringat orang-orang yang hilang di hutan dan kamipun mengalaminya sendiri. Magrib mulai menjemput, namun kami masih saja berada di tengah lembah. Edarkan pandangan, tapi tak satupun didapati tanda-tanda. Matahari yang kami jadikan dasar penunjuk arah tak lagi tunjukkan batang hidungnya.

"Bismillaah, ihdina Shiraatal Mustaqiim, Yaa..Rabb..Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (benar)". Berempat, kami bagi-bagi tugas, teman pertama menyisir ke sebelah kiri, teman kedua menyisir ulang jalan tempat yang kami lewati tadi, teman yang satunya lagi ke arah sebelah kanan, sedang saya sendiri ke tempat yang lebih tinggi memanjat pohon mengamati dari atas seandainya ada bekas yang pernah dilalui orang. Kemudian satu persatu teman-teman mendekati, maklum pemandangan di tempat saya berdiri bagus. kami lupa dengan situasi yang dihadapi.

Cukup lama juga kami nikmati pemandangan sekitar. Pikiran jadi jernih, hatipun jadi tenang. Kembali fokus ke situasi semula, kamipun turun keposisi awal. Bivack jadi solusi terbaik. Sambil menyingkirkan ranting-ranting kecil di bawah kaki kami menarik kesimpulan, bahwa saat ini kita tepat berada di bekas daerah aliran sungai. Memang, kalau diamati secara menyeluruh, berdiameter sekitar 6 meter dengan ketinggian dinding tepinya kurang lebih 6-8 meter, dilihat dari ketinggian ketika saya memanjat pohon.

Tidak salah lagi hasil analisis kami, berbekal kesimpulan ini kami lanjutkan pencarian jejak. Pandangan kami arahkan ke atas dengan mengikuti guratan bekas sungai. Dan tak lama kemudian salah satu teman berteriak sambil menunjuk ke atas menjelaskan bahwa ia baru saja melihat seseorang. Tanpa banyak tanya lagi kami mendaki bibir bekas sungai setinggi 8 meteran dengan kemiringan nyaris mendekati 50 derajat ; merangkak ke atas dan Alhamdulillah, akhirnya ketemu lagi setapaknya. Tapi orang yang diliat teman tadi kemana?.

Maghrib telah tiba, kami bivack di pingiran anak sungai. Waktu istirahat kami selingi dengan bernyanyi bersama. Tidak seperti pada malam-malam di tempat-tempat yang pernah saya kunjungi. Lelah yang saya rasakan saat itu jauh berbeda (; katanya, kami didampingi dua sosok perempuan berbaju putih, informasi ini kami dengar setelah kami pulang dari goa di rumah teman; hanya Allah yang mengetahui)

Keesokan harinya kamipun lanjutkan perjalanan, ternyata jarak tempat kami bermalam dengan goa hanya beberapa meter saja. Posisi mulut Goa berada di ketinggian 8 meteran, menghadap ke barat. Kalau diperhatikan dari bawah, mulut Goa tidak nampak sama sekali. Mulut Goa berbentuk lingkaran, besarnya seperti ban sepeda, panjang setengah depa dengan sedikit benjolan di sisi mulut Goa. Hembusan angin yang keluar dari dalam mulut goa mematikan obor dan lilin yang dinyalakan. Dengan merangkak perlahan kamipun masuk.

Begitu luas, kotoran kelelawar dan sedikit ventilasi di sebelah kanan atas kepala, kami masuk di salah satu ruangan yang menyerupai kamar rumah. Dindingnya rata, di sisi sebelahnya ada lagi sebuah ruang, tapi tidak seluas yang dimasuki sebelumnya. Pada ujung ruangan ini terdapat bekas aliran air sungai yang jika diamati dari guratan yang terbentuk pada dinding ruang dan di atasnya ada lekukan menuju lantai dua. jika diukur, ketinggiannya 3 orang dewasa. Sayang peralatan manjat tidak kami bawa.

Menurut cerita, goa ini memiliki lebih 100 pintu, berlantai tiga dan terdapat peninggalan sejarah berupa kerangka manusia yang postur tubuhnya tidak seperti kebanyakan kita saat ini. Wassalam.