29 Nov 2014

Cerpen: Menyusuri Setapak Belantara

Cerpen: Menyusuri Setapak Belantara

Cerpen: Menyusuri Setapak Belantara - Putih sodorkan samar di pelupuk, beberapa rumah sederhana berderet di sebelah kiri. Aktifitas keseharian masyarakatnya pun begitu masih tradisional, seolah dihisap pusaran waktu aku berada di sana. Namun begitu menampakkan kedamaian di dalamnya. Berselang beberapa saat, separuh baya menghampiri tawarkan ikhlas, memakai caping, celana sebatas betis seperti memakai ghamis dan wajah terlihat setengah. Keluh lidah sesekali mata menatap, mengapa beliau tunjukkan padaku?. Apakah ini berupa tanda pembuka saat nantinya ku susuri rimbanya? Kemudian beliau berujar mengenalkan lintasan pos.

Tampakkan seorang wanita bergaun putih dengan sedikit hiasan renda, rambut terurai hingga dekati pinggang. Samar dan begitu dingin. Ingin bertanya; mencari di mana tatapan mata yang penuh misteri itu. Bekas jeratan tali yang katanya masih membekas di leher buatku urungkan niat.

Kemudian beranjak menuju titik rawan, menghadang angin kencang lalu beliau tenangkan hati. Tunjukkan gerbang menyerupai pigura yang terbuat dari pahatan batu, begitu artistik berdiri tegak tanpa penopang dengan latar ngarai membentang disertai mendung disebaliknya. Seakan raga melayang sadarkan diri, bahwa kekeliruan sebahagian kecilnya berada di titik tersebut. Tergesa-gesa, panik, taklukkan kehebatan alam, lupa diri siapa di balik semuanya. Anai-Anai susuri kontur dengan congkak.

Dan lagi Beliau mengajak memasuki titik pos, di mana sauna alam dipenuhi kaum "hawa" muda, duduk bercengkrama nikmati air penuh canda tanpa penutup aurat sehelaipun. Sedang sauna alam kedua disesaki "hawa" yang telah berumur lanjut, juga tanpa penutup aurat. Guratkan sendu tertunduk malu saat melihatku.
Kembali ke gerbang, tunjukkan akar bak titian menghubungkan rute. Ngarai menganga di bawah tumit, tuturkan sedih tutup indra sahabat-sahabat Alam. Yaa..Rab..! Mohon tenangkanlah hiruk pikuk bazrah ruh sahabat kami, seperti tenangnya hati memandang keindahan alamMu ketika kami tapaki punggungnya.
Beliau persilahkan jejakkan tapak di akar, sarankan tangan bergelantung di bawahnya. Nyaris lepas terhempas, beliau menangkap seberangi titian, tunjukkan lagi keliru Sahabat-Sahabat Alam. Mereka berjalan lurus, semestinya mereka dekat ke kanan. Meski kerinduanku tak dapat kusembunyikan; Dialah Allah yang Maha Mengetahui. (Foto/Google search)