8 Dec 2014

Cerpen: Irisan Kabut Anak Rimba di Ujung Lembah

cerpen: irisan kabut anak rimba di ujung lembah
Cerpen: Irisan Kabut Anak Rimba di Ujung Lembah
[Inspirasi ~ Kakanda Saud Karrysta].


Alhamdulillah..!, Akhirnya bisa dirampungkan juga walau hanya beberapa shaf saja; setelah sekian lama ingin membuat postingan khusus buat sahabat-sahabat saya tercinta. Meskipun belum semuanya tersalurkan lewat tulisan ini, kendati isi tulisan dibungkus dengan kiasan-kiasan miring. Namun, dapat sedikit meredam kerinduan saya akan teman-teman serta lebatnya belantara rimba yang telah lama ditinggalkan, yang terkadang mampir ke dalam mimpi. Aromanya.. suara-suara alam.. binatang-binatang hutan.. hembusan angin lembah.. . Tapi tidak apa-apalah, akan saya tuangkan semua lewat label gunung ini. Dan buat Sahabat-Sahabat yang masih sudi bertandang ke gubuk saya. "Tak ada kata yang dapat mewakili"..titik tidak pakai koma atau tanda kutip apalagi sama dengan maupun garis miring titik sekian koma terimahkasih titik selesai titik disambung sedikit koma Salam Rimba titik titik titik tanda seru tanda seru tanda seru ×

Siang tlah menutupkan matanya, digantikan temaram cahaya bulan di balik sendu awan kelabu. Dan desir anginpun terasa kian merasuk bekukan sumsum tulang, menambah suasana sunyi puncak pegunungan. Teriak kulantangkan namun langitnya tak mendengar, padahal tuk sekadar ucapkan terimahkasih. Kan kucoba merayapi kembali kontur-kontur tebing hati walau titik embun membasahi pucuk dedaunan. Sungguh merupakan suatu karunia, hati ini dapat menikmati keindahan AlamNya. (Foto/Google search)

Tebing menjulang bak raksasa seakan menghadang perjalanan kami. Lambaian bendera climber-climber Indonesia tak mau kalah ramaikan punggung tebing. Bahkan ada yang terlihat di ujung tertinggi. Namun, ada satu goresan horisontal memanjang; menganga sepanjang tebing yang menarik perhatian. Burung-burung menyembul keluar daripadanya; saling kejar-mengejar, ditambah beberapa ekor burung elang rimba yang mengintai mangsanya dari angkasa, memutar-menyilang kesana kemari. Dan yang tak kalah menarik perhatian, ada seekor burung bentuknya seperti garuda dipewayangan, bercorak hitam dipadukan merah dan memiliki mahkota di kepala. Subhanallaah..!
Untukmu wahai anai-anai yang sudah dimakan cacing; Di penghujung senja ku selalu panjatkan do'a buatmu, semoga sang penggenggam jiwa senantiasa melapangkan kuburan tempatmu berteduh, menanti sangkakala kedua pekakkan telinga. Nyanyian-nyanyian kehidupan kini tak lagi kita senandungkan bersama.. Gembur tanah belantara kini tandus tanpa jejak-jejakmu.. Begitu hampa; sunyi di keramaian.. Dentuman suara halilintar tak lagi berdenyut seperti dulu.. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.. semua degup jantung letusan-letusan dan kilatan-kilatan tak lagi terdengar. Andai saja antum ada di sini; mungkin lebih terasa syahdu kita rayapi punggungnya. Mengapa Yaa Raab..!, di saat mereka dekatkan diri kepadaMu.. Engkau mengambilnyaa..! Astagfirullah. Allahumma shalli alaa sayyidina wa maulana Muhammad.

Jejakkan kaki sambil menyibak belukar rimba belantara, meski duri menggores kulit jadikan sebuah harapan tuk raih ujungnya. Di mana suara pecahan ranting kering pijakan tapak kaki serta binatang malam, mengalung merdu mengiringi gelak tawa tanpa pedulikan puluhan mata yang terlelap dibuai rutinitas.

Napas seakan lepas dari raga, kapas di punggung nyaris saja hempaskanku ke belakang. Bahkan, deretan gundukan kuburan china tak satupun mampu menggugah hati. Malah tumpukan permen tergeletak di batu nisan begitu asam menghibur kerongkongan. Tak mempan kepulan-kepulan asap memenuhi ruang, satu paket mengantarkan menyambut pagi. Ini baru satu dimensi.

Dimensi kedua; Teraduk dalam sebuah nampan merah berbusa bagai buih lautan menyelami lekukan palung tembolok leher. Sobekan celana jins dililitkan ke potongan dahan sebagai suluh tuk terangi bayang. Lalu terhenyak bersama kabut kenikmatan dunnyawi.
Menuju dimensi ke tiga, benih-benih batu disusun mencapai ketinggian 50 sampai 100 meter di atas permukaan laut. Juga kemiringan nyaris mendekati 80 derajat. Masing-masing berupaya mencari celah. Sedangkan bias cahaya obor sedikit demi sedikit menjilati wajah-wajah yang penuh lumpur.
Pada dimensi keempat ini kupisahkan diri, semakin berat beban di punggung. Dengan terpaksa ku rentangkan kaki ke atas, sehingga aliran darah dapat bebas mengalir guna menyuplai oksigen secara normal ke seluruh persendian. Akhirnya, semerbak aromanyapun menguap diterbangkan bisik nyanyian malam.
Keesokan harinya, terdengar kabar bahwa si fulan mati bersimbah darah oleh tangan-tangan yang penuh dendam akibat ulah masa lalu si fulan sendiri.
  • Pos 6

    cerpen: irisan kabut anak rimba di ujung lembah

  • Pos 6

    cerpen: irisan kabut anak rimba di ujung lembah

  • Pos 7

    cerpen: irisan kabut anak rimba di ujung lembah

  • Pos 7

    cerpen: irisan kabut anak rimba di ujung lembah