Dikisahkan pada jaman dahulu kala di sebuah desa, hiduplah sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang Ayah dengan tiga orang putra.
Suatu hari yang cerah,
"Sudah waktunya kalian untuk mencari jalan hidup kalian masing-masing. Engkau Sulung cita-citamu apa" Kata Sang Ayah kepada putranya yang pertama. "Ayahanda, Saya ingin menjadi saudagar kaya raya di kampung kita!" "Kamu.." "Saya berkeinginan menjadi tuan tanah, sehingga Ayahanda tak perlu lagi bersusah payah menggarap lahan milik tetangga" Sambung putranya yang kedua. "Nak.. kalau kamu Cita-citamu apa?"
Si Bungsu dengan suara pelan menjawab, "Ayah, sebenarnya cita-citaku tak seperti kedua Kakak saya, dari dulu sampai sekarang saya selalu ikut kemana ayah pergi. Berkebun, mengumpulkan kayu bakar di hutan untuk kita jual ke rumah-rumah, mencari ikan.. Ayah tahukan, Saya tidak memiliki keahlian apapun bila dibandingkan kakak-kakak saya. Tanpa sepengetahuan ayahanda, saya sering mengembalakan domba di desa sebelah. Ini Ananda lakukan demi memenuhi kekurangan kebutuhan sehari-hari keluarga kita"
"Ayah.." Bungsu sejenak menghentikan ucapannya. "Saya ingin mempersunting seorang putri raja!" Jawab Si Bungsu dengan tenang.
"Ha.. ha.. ha.. ada-ada saja kamu Bungsu.." Tawa kedua kakak bungsu secara bersamaan.
Malam tlah berganti pagi, suara kokok ayam jantan bangunkan Bungsu dari tidur. Di bilik kamar yang hanya berukuran tiga kali dua setengah meter, Bungsu mulai mempersiapkan diri. Dan perbekalan untuk perjalanan nantinya yang dibawa hanya seadanya saja. Ini merupakan kebiasaan turun temurun yang diwariskan sejak Si Bungsu belum lahir; Merantau
Dalam tulisan ini, kita akan mengikuti perjalanan Si Bungsu.
Setelah berpamitan, Si bungsu mulai melangkahkan kaki meninggalkan kampung halamannya. Bungsu hanya bisa menghela napas dalam-dalam, kemana kaki melangkah disitulah tujuannya.
"Hei penduduk kampung.. siapa di antara kalian yang ingin membuktikan kehebatan cambuk terbang saya!" Nampak seorang yang bertubuh tambun dengan ikat kepala berteriak di tengah kerumunan ”tidakkah kalian tahu, dengan sekali perintah cambuk ini mampu menuruti kemauan saya!”
"Cambuk, terbaang!" dengan sekali perintah, cambuk terbang melesat ke sana kemari di antara kerumunan penduduk desa. Sementara di kejauhan Si Bungsu yang sudah dua hari lamanya menempuh perjalanan berdecak kagum menyaksikan ketangguhan dari cambuk terbang milik orang tersebut.
Setengah berlari Si Bungsu menembus kerumunan dan mendekati si empunya cambuk "Aah, Saya tidak percaya kalau cambuk terbang Anda bisa sehebat itu, apa hanya ini saja kehebatannya?
"Kalau kamu tidak percaya, silahkan coba sendiri, tapi ingat.. cambuk ini bukan cambuk biasa!"
"Saya mau mencobanya.. tapi tidak di sini.." Kemudian Si Bungsu dan Si Tubuh tambun itupun pergi meninggalkan kerumunan orang.
Dengan cambuk terbang yang sudah ada di tangan,
"Cambuk, lilit leher dan mulut orang yang sombong itu!" betapa terkejutnya Si Tambun tatkala cambuk terbang miliknya melilit mulut serta lehernya. Si Tambun dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan diri, namun perlawanan yang diberikan tak selantang suara Si Tambun menyerukan kehebatan cambuk terbangnya, hingga tak beberapa lama kemudian keheningan menyelimuti tempat di mana Si Bungsu berdiri mematung.
Debu beterbangan, gesekan dahan saling beradu diterpa angin mengiringi langkah Si Bungsu tuk lanjutkan kembali pengembaraannya. Sang suryapun sedikit demi sedikit merangkak menuju peraduan.
Tak berapa jauh dari tempat Si Bungsu berada, gerombolan Perompak memasuki sebuah desa. Rumah penduduk dibakar, binatang-binatang ternak, hasil panen dirampas dan yang parahnya lagi perompak ini membawa paksa anak-anak gadis untuk diperjual-belikan kepada saudagar-saudagar kaya.
Api terus berkobar nyaris hanguskan seisi desa, teriakan-teriakan dari penduduk dibalas dengan wajah sinis. Yang tak rela harta bendanya diambil akan berhadapan langsung dengan pimpinan Perompak.
Di tengah perjalanan, Si Bungsu berpapasan dengan seseorang yang sekujur tubuhnya penuh dengan luka lebam. Dalam hati Si Bungsu bertanya-tanya, gerangan apakah sebenarnya terjadi di depan sana, sehingga membuat orang itu lari ketakutan.
Cukup lama juga Si Bungsu bersembunyi di balik pohon bambu menyaksikan bagaimana para perompak semena-mena terhadap penduduk desa, hingga tanpa ia sadari ternyata ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan gelagaknya dari belakang. Tinggi, berbadan kekar dan kedua tangannya memegang sepasang belati dan rantai yang ujungnya runcing seperti ujung anak panah.
Betapa terkejutnya Si Bungsu tatkala sepasang belati melesat ke arahnya dan berhenti tepat di depan mata diikuti suara rantai yang mendesis bak seekor ular meliut-liut sembari sesekali mengitari kepala Si Bungsu.
Si Bungsu ditangkap dan dibawa menuju kapal perompak bersama anak-anak gadis penduduk desa.
Pada malam harinya, para perompak berpesta pora merayakan keberhasilan atas hasil rampasannya. Si Bungsu menerima tawaran dari pemimpin perompak untuk bergabung menjadi salah satu anggota bajak laut. Kesempatan inipun tak ia sia-siakan, daripada dijual dan dijadikan budak. Namun, di dalam hati Si Bungsu mengatakan, takkan pernah melupakan kelakuan para perompak terhadap penduduk desa. Si Bungsu dan Putri Raja Bag. 2