Menjadi sebuah fenomena tersendiri di masyarakat, karena dihimpit kehidupan yang sulit, banyak orang depresi dan mengambil jalan pintas dengan bunuh diri. Minum cairan anti serangga, mengiris pergelangan tangan, gantung diri atau terjun dari gedung bertingkat. Namun, hal-hal tersebut bisa jadi bukanlah pendorong utama, melainkan hanya pemantiknya saja. (gambar: google)
Orang yang sedang depresi mengalami perubahan cara berpikir. Selain itu, perubahan fisik pun terjadi antara lain turunnya berat badan secara drastis, kurang peduli pada penampilan, kurang konsentrasi, hilang selera makan dan gangguan tidur (kekurangan atau kelebihan).
Pakar bunuh diri dari New York dalam Biological Psychiatric meneliti susunan otak orang yang berjenis kelamin sama yang meninggal pada waktu yang hampir bersamaan pula. Yang satu tewas bunuh diri sedang lainnya meninggal secara normal. Dari penelitian itu, wilayah orbital prefrontal cortex di atas mata dan dorsal raphe nucleus di batang otak keduanya, tampak mengalami perubahan anatomi dan kimiawi.
Perubahan ini menyebabkan berkurangnya kemampuan otak untuk membuat dan menggunakan serotonin untuk neurotransmitter yang berguna membangkitkan rasa bahagia pada seseorang. Hormon itu hanya sedikit terdapat pada orang yang mengalami depresi dan pada pelaku bunuh diri, jumlah serotonin yang dikirim di bawah normal. Serotonin sendiri adalah salah satu molekul yang terjalin dalam jaringan biokimia yang bernama sumbu Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA)
HPA bertanggungjawab mempengaruhi respon yang diberikan seseorang terhadap stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Semakin rendah kadar serotonin pada otak seseorang, semakin mudah ia terkena depresi, berperilaku agresif dan impulsif
Anak yang sering dihukum atau disiksa biasanya mengalami kerusakan pada sumbu HPA dan meninggalkan jejak biokimia di otak. Jejak itu menyebabkan orang rentan terhadap tekanan, sehingga mudah depresi lalu mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya dengan bunuh diri.