Napak Tilas, Sejarah Perjuangan Kaum Muslimin Filipina - Kaum Muslimin di Filipina dari dulu hingga kini hidup terjajah. Penindasan, pembunuhan dan pengusiran besar-besaran menimpa Muslim Filipina. Mereka dianiaya, didzalimi, dirampas dan ditindas. Mereka melawan untuk bertahan. Akhirnya, Filipina dan kelompok gerilyawan Muslim terbesar di negara tersebut menandatangani perjanjian damai. Selama rentang waktu tersebut, perundingan dan pertempuran berdarah terus berlangsung hingga menewaskan setidaknya 120 ribu orang di pulau selatan Mindanao. Perjanjian ini akan membuat pemerintah otonom bangsa Moro bisa membuat anggaran sendiri. Mereka juga akan memiliki kekuatan polisi sendiri. Dan sebuah badan transisi akan ditempatkan di sana dengan pemilihan lokal yang dijadwalkan pada tahun 2016.
Memulai kisah tentang penindasan Bangsamoro, bisa kita mulai dari satu nama yang dianggap satu dari seratus manusia yang paling berpengaruh, oleh Michael Hart. Namanya Ferdinand Magellan (1480 - 1521), seorang yang mendapat sematan sebagai penjelajah besar yang mengelilingi dunia.
Jauh sebelum Ferdinand Magellan dan penjajah Spanyol ke kepulauan Filipina, hampir sebagian besar penduduk kepulauan Filipina telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Jejak keIslaman mereka, bahkan hingga kini masih ada dan tak mampu dihapuskan oleh penjajah. Nama ibulota Filipina, Manila sendiri diambil dari bahasa Arab yaitu Amanullah yang berarti negeri Allah yang aman. Bahkan di wilayah ini pernah berdiri kerajaan Islam yang bernama Kerajaan Tondo.
Seperti halnya Indonesia, Filipina adalah sebuah negara yang terdiri dari kepulauan dengan jumlah yang sangat besar. Tak kurang 7.107 pulau berada dalam teritorial Filipina. Islam telah berkembang di wilayah ini sejak abad ke-14. Artinya, jauh sebelum kedatangan Magellan Islam telah menginjakkan kakinya dan memberikan sentuhan dakwah pada penduduk setempat. Sampai pada satu titik, seorang raja yang sangat ternama di Manguindanao bersyahadat dan memeluk Islam.
Ada juga legenda menyebutkan, Islam kali pertama dibawa oleh seorang sufi bernama Karim al-Makdum yang berlayar dengan menggunakan mangkuk besi, bisa berjalan di atas air dan terkadang bisa terbang.
Sejarah mencatat, ulama-ulama Indonesia berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Filipina. Bahkan disebutkan, seorang pangeran dari Menangkabaw alias Minangkabau bernama Baguinda adalah salah satu pendakwah Islam di wilayah ini, terutama di Zulu, Zamboanga dan Basilan. Karena itu, tidak mengherankan jika sampai hari ini kita bisa mendapatkan banyak kemiripan antara Indonesia dan Filipina, terutama di wilayah selatan. Wajah dan postur tubuh, tak jauh berbeda. Bahasa dan kata banyak yang sama.
Contohnya untuk hidung, mereka menyebutnya idung. Telinga bergeser sedikit menjadi inga. Kita bahkan menggunakan kata yang sama untuk pintu, kanan, murah, mahal, gunting, balai, aku, kita dan masih banyak kata sama yang lainnya.
Islam pernah menjelma sebagai kekuatan besar di wilayah Filipina yang diwakili oleh Kesultanan Sulu. Wilayah kekuasaan Sulu membentang dari Mindanao hingga Sabah di Malaysia. Kesultanan Sulu dipimpin oleh Sharif al-Hasyim Syed Abu Bakar yang menikahi putri Raja Baguinda dan kemudian mendapat gelar Paduka Maulana Mahasari. Sejarah kesultana Sulu menerangkan, Sharif al-Hasyim masih memiliki darah keturunan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dari bani Hasyim.
Dari wilayah inilah perlawanan berlangsung dengan sengit ketika bangsa Spanyol menancapkan kuku dan taringnya. Tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, penjajah Spanyol memecah belah persatuan umat Islam dan memberikan stigmatisasi yang buruk. Mereka menyebut orang-orang Islam di Filipina selatan dengan sebutan Moro yang diambil dari kata Moor yang merujuk kaum Muslimin dalam sejarah perang Salib.
Nama Filipina pun muncul dengan semangat penjajahan. Seorang awak kapal Spanyol yang bernama Bernardo de la Torre memberi nama kepulauan ini dengan sebutan Filipinas sebagai penghormatan kepada putra mahkota Spanyol kala itu yang kelak bergelar Philip II. Mereka menyebarkan kabar bahwa Islam ini adalah agama bid'ah, Islam adalah ajaran setan, kaum Muslimin adalah pembawa wabah penyakit dan lain sebagainya. Bahkan, pemimpin di Illaga mengomandani pasukan militer dan selama 7 tahun memerangi penduduk Muslim. Namun kekuatan bersenjata Spanyol yang demikian besar dan motivasi agama yang dikobarkan, tak mampu menaklukkan wilayah selatan Filipina.
Perlawanan kaum Muslimin yang dimotori oleh Sultan Sulu, mampu mempertahankan wilayah ini selama peperangan yang berlangsung hampir tiga abad. Dalam peperangan yang panjang ini, terjadi solidaritas tinggi antara kaum Muslimin di seluruh wilayah Nusantara yang meliputi Indonesia, Malaysia dan juga Brunei. Bahkan pada era 1638, kesultanan Makassar dan Ternate berperan sangat besar dalam memberikan bantuannya kepada kaum Muslimin di Filipina.
Ketika Gubernur Spanyol menyerbu Sulu, sultan Sulu yang bernama Raja Bongsu mendapat bantuan kiriman pasukan prajurit-prajurit Makassar yang gagah berani. Di masa pemerintahan Raja Bongsu inilah terjadi paling banyak peperangan besar antara penjajah Spanyol dan kesultanan Islam Sulu. Parrang Sabbil, begitu rakyat Sulu menyebut periode perang melawan kaum kafir Spanyol. Hampir sama dengan penyebutan di Aceh, Prang Sabi
Tapi nampaknya perjuangan belum usai setelah Spanyol hengkang dari tanah Filipina. Spanyol berhasil dikalahkan Amerika dan sekutunya. Dalam perjanjian Paris yang ditandatangani 10 Desember 1898, Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika dengan imbalan uang sebesar 2 juta dolar.
Sebenarnya, kelompok-kelompok perlawanan di Filipina pernah memproklamirkan kemerdekaan pada 12 Juni 1898, tapi Amerika menolak dan tidak mengakuinya. Maka sejak 10 Desember 1898 Filipina berganti penjajah baru yakni, Amerika Serikat. Amerika dikecam banyak negara barat, karena melanggar doktrin Monroe yang menentang kolonialisme dan imperialisme. Namun Amerika tak ambil pusing dengan semua gugatan dunia. Pada tahun 1919, sebuah delegasi pergi ke Amerika menuntut kemerdekaan untuk Filipina. Tapi dengan sombongnya Amerika mengirimkan The Wood Forbes Mission pada tahun 1922 yang mengatakan, "Filipina belum mampu merdeka."
Pada periode berikutnya, Amerika mengalami kekalahan di wilayah Pasifik oleh pasukan Jepang. Pada 2 Januari 1942, Manila jatuh ke tangan Nippon. Seperti yang diketahui, kekuasaan Jepang hanya seumur jagung. Sekutu mengalahkan Jepang dan Amerika kembali ke Filipina. (diolah dari berbagai sumber)