19 Feb 2015

Orang - Orang yang Disebut Manusia Perahu

Orang menyebutnya - Manusia Perahu keterpaksaanlah yang memaksa mereka melakoni nasib di atas sampan. Berlayar ke berbagai lautan dan samudera untuk mencari sebuah pijakan. Hidup di tempat yang tak diinginkan memang membosankan, kadang menyakitkan, bahkan mengerikan.

Mereka adalah orang-orang etnis Rohingya. Di tengah lajunya perubahan jaman yang mendera manusia, penyakit kuno itu masih melekat dan kronis; Rasisme. Ia melahirkan diskriminasi dan menumbuhkembangkan intimidasi juga anarki. Menyingkirkan segala bentuk yang berbeda demi mengokohkan 'Kesejatian'. [Foto/Google search]


Orang - Orang yang Disebut Manusia Perahu

Aneh memang, di tengah modernitas dan kecanggihan peradaban yang kini tercipta, sisa-sisa keprimitifan itu ternyata masih dipelihara, bahkan diabadikan menjadi sesuatu yang baka. Imortalitas yang mencoreng keelokan wajah satu kaum dan bangsa.

Primitifisme inilah yang menghempas mereka hingga ke Malaka. Di berbagai negeri, si Manusia Perahu terdampar bersama harapannya. Harapan akan damai yang telah hilang. nun jauh di Arakan. Menjadikan orang-orang Rohingya asing di tanah sendiri, kampung halaman yang seharusnya nyaman serta damai, berubah jadi ladang duka cita.

Jika semua yang berbeda harus disingkirkan, maka pelarian adalah sebuah pilihan. Perahu atau sampan menjadi persinggahan untuk sekadar melepas lelah. Namun, tak semua pelarian itu redakan duka. Apalagi sampan bukanlah tempat singgah yang permanen.

Walau begitu, manusia Perahu - Rohingya, akan terus berkelana, menyusuri gelombang samudera. Mencari tempat, di mana manusia dapat diperlakukan sebagai manusia.