Tentu sangat berbeda bila membandingkan antara pendaki yang sudah malang melintang di gunung dengan pendaki yang baru saja mengenal gunung. Dari teknik pengaturan ritme irama langkah kaki hingga napas saat menari menapaki terjalnya punggung gunung yang hampir mendekati 60 - 70 derajat dapat dilihat.
Seorang pendaki yang baik dan memiliki ketahanan fisik yang mumpumi akan memanfaatkan kekuatannya untuk membantu sesama pendaki lainnya yang kemungkinan mengalami treble di perjalanan.
Jalan malam ketika menuruni gunung begitupun sebaliknya, jika tidak mengenal medan sebaiknya jangan sekali - kali untuk memaksakan diri. Sudah banyak pendaki yang kerapkali kehilangan arah, mengambil rute yang salah kemudian tersesat atau bahkan bisa jatuh ke jurang. Kecuali didampingi oleh orang yang telah berpengalaman (leader).
Adapun bila mengharuskan untuk jalan malam, perhatikan string dan crossline (tanda - tanda) di jalan serta waktu istirahat dipersingkat. Dikhawatirkan binatang - binatang malam akan mendekat. Selanjutnya, penerangan seperti senter (senter yang dipasang di kepala) untuk masing - masing orang serta tetap memperhatikan jarak agar terus berdekatan dengan teman. Seperti beberapa pendaki yang ditemui, lepas dari rombongan yang minta dibuatkan tandu. Ada yang jatuh di lubang hanya jari - jari tangannya saja yang keliatan dan ada pula yang sampai muntah - muntah.
Apabila jumlah senter tidak sesuai dengan jumlah anggota tim. Misal, kita hanya memiliki dua senter sementara jumlah tim sebanyak lima orang, maka senter pertama berada di belakang orang pertama (baris kedua). Sedang senter kedua berada paling belakang barisan dan bertanggungjawab untuk dua orang yang berada di depannya. Begitu pula ketika mengarahkan senter, karena jalan di gunung tidak sama dengan di jalan normal.
Meski tips jalan malam ini merupakan hasil dari pengamatan saja (melihat pendaki; berpapasan di jalan) dalam rangka Wisata Alam, Napak Tilas sekaligus memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-70 di salah satu atap; seven of summit-nya Indonesia (15 - 18 Agustus 2015) bersama dengan Adik - Adik Sepupu, karena berhubung tim kami bukanlah sekumpulan pendaki. Tapi, setidak - tidaknya dapat menambah perbendaharaan ilmu tentang pendakian gunung.
Namun, masih ada saja moment yang dilewatkan. Lupa menggali informasi siapa sesungguhnya sosok wanita yang memakai kerudung besar, padahal rute yang dilewati membutuhkan efesiensi pakaian. Si Pendaki Everest dan tak sempat pula mendokumentasikan wajah cantik si bocah perempuan berumur kisaran 9 - 11 tahun yang telah menyelesaikan 3 puncak tertinggi Indonesia secara medley (Semeru, Rinjani dan Latimojong).
Ini akibat kurang berolahraga, jadinya sibuk urut betis yang mau meletus. Mulai dari minyak Cap Ade Juwita sampai minyak Cap AgnesMo, tidak mempan; malah hasilnya makin menyedihkan. Jangankan membantu untuk padamkan kobaran api yang hampir hanguskan tenda, jalan saja seperti orang yang baru disunat. Jangan di rumah saja.. Indonesia itu indah..!