Cerita sebelumnya Si Bungsu dan Putri Raja Bag. 1. Malam itu, semua perompak hanyut dalam gelak tawa rayakan keberhasilan jarahannya. Sementara gemuruh gelombang tak henti-hentinya perdengarkan kelakar gelitik karang. Baru kali pertama Si Bungsu bersama dengan orang-orang yang berbeda jauh, dari watak penduduk yang selama ini ditemuinya saat masih berada di desa dulu.
"Ha.. ha.. ha.. kesini Bungsu,"
"Saudara-saudaraku sekalian! ini Si Bungsu, pemuda yang kita tangkap tempo hari. Tetapi mulai sekarang, ia tlah menjadi salah satu keluarga besar kita, ha.. ha.. ha.."
Malam kian meninggi, geladak kapal yang menjadi tempat berpesta pora sudah seperti kapal pecah. Ada yang teriak-teriak tak karuan, ada pula yang hanya diam di tempat mengoceh sendiri. Tetapi ternyata bukan anggota perompak saja, pemimpin mereka yang berperawakan tinggi kekar dengan beberapa tato simbol-simbol aneh yang memenuhi batang lehernya mengalami hal serupa.
Sambil berjalan sempoyongan, pemimpin perompak mendekati lalu merangkul pundak Si Bungsu. Aroma minuman keras menyengat hidung Si Bungsu, membuat ia agak risih dibuatnya. Kemudian dengan suara sedikit berbisik dan terbata-bata, pemimpin perompak itupun berkata;
"Kamu mau lihat kehebatan saya Bungsu?" Gelas minuman yang terbuat dari potongan bambu dibanting setelah melepaskan rangkulannya di pundak Si Bungsu.
Dengan suara lantang, pemimpin perompak berseru sampai-sampai tawanan dalam kerangkeng satu persatu berdiri,
"Aku! Sebagai penguasa di perairan ini, akan menunjukkan, bahwa akulah penguasa yang patut kalian hormati. Tiap desa yang kudatangi, pasti kan takluk di tanganku" Ujar pemimpin perompak dengan suara bergetar dan penuh kebanggaan.
"Kedua benda inilah yang membantuku!" Bersamaan dengan itu, muncullah empat buah benda dari balik pakaian si pemimpin perompak.
Sepasang benda pertama berbentuk rantai. Masing-masing memiliki panjang kira-kira satu setengah rentangan tangan orang dewasa. Sebesar jari kelingking yang ujungnya seperti anak panah. Dan yang satunya lagi adalah sepasang belati terbang. Gagangnya terbungkus dari kulit ular. Ketika melayang, belati terbang mengeluarkan aroma anyir darah. Senjata-senjata tersebut mengitari tubuh si pemimpin perompak. Siapapun yang melihatnya akan takjub tanpa terkecuali, termasuk Si Bungsu sendiri.
Si Bungsu jadi teringat dengan cambuk terbang yang disamarkan menyerupai ikat pinggang. Belum sempat bayangan angan-angan Si Bungsu mengingat kembali kejadian itu. Sepasang rantai terbang, senjata andalan pemimpin perompak menyeret lalu mengangkat dirinya. Belum lagi belati terbang tak mau bergeser dari ubun-ubun Si Bungsu. Si Bungsu hanya bisa pasrah menahan rasa sakit.
Bagaimana tidak, rantai sebesar jari kelingking melilit kedua pergelangan kakinya begitu ketat. Sedangkan, si empunya rantai malah tertawa terbahak-bahak menikmati pertunjukkan yang baru saja ia mulai.